Ternyata Ini Hukumnya Apabila Menghajikan Orang Tua yang Sudah Wafat

- 31 Maret 2024, 02:41 WIB
Ilustrasi Haji
Ilustrasi Haji /Pexels/

WARTA SAMBAS - Hukum menghajikan orang tua yang sudah wafat atau mengantikan haji untuk orang lain, apakah hal itu dibolehkan atau tidak. Berikut penjelasannya berdasarkan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dilansir dari NU.or.id

Menurut Mazhab Syafi’i

Hukum menghajikan orang tua yang sudah wafat menurut Imam Syafi’i bahwa kasus ini masuk pada kasus fiqih yang memang dipeselisihkan oleh para ulama. Imam Syafi’i menyatakan bahwa, orang yang menjadi badal atau menggantikan haji orang lain, termasuk juga orang tuanya yang telah wafat disyaratkan sudah haji dahulu bagi dirinya sendiri. Bila yang menjadi badal belum berhaji, maka tidak cukup atau tidak boleh untuk menggantikan haji untuk orang lain.

Baca Juga: Dipersembahkan ST 12, Ini Lirik Lagu dan Chord Gitar Cinta Tak Harus Memiliki

Hal ini berdasarkan pada hadis yang telah diriwayatkan Abu Dawud, Ad- Daruquthni, al-Baihaqi, dan selainnya dengan sanad shahih yang artinya sebagai berikut : “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sungguh Nabi saw mendengar seorang lelaki membaca talbiyah: ‘Laibaika dari Syubrumah.’ Beliau pun meresponnya dengan bertanya: ‘Siapa Syubrumah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Saudara atau kerabatku.’ Nabi tanya lagi: ‘Apakah kamu sudah haji untuk dirimu sendiri?’ Orang itu menjawab: ‘Belum.’ Nabi pun bersabda: ‘Hajilah untuk dirimu sendiri, kemudian baru haji untuk Syubrumah.”

Maka berdasarkan dari hadits itulah Mazhab Imam Syafi’i menyatakan bahwa orang yang belum haji tidak boleh mengganti orang haji orang lain. Bila yang membadalkan tetap melakukannya, maka otomatis ibadah haji yang dilakukan menjadi haji bagi dirinya dan bukan untuk yang dibadalkan. Ibnu Abbas ra, al-Auza’i, Imam Ahmad dan Ishaq. (An-Nawawi, Al-Majmû’ Syahrul Muhaddzab, juz VII, halaman 117-118) juga sependapat dengan hal ini. Ada dua sisi pemahaman terhadap hadits tersebut sehingga menjadi dalil ketidakbolehan orang yang belum haji menggantikan haji orang lain. Pertama, dalam hadits itu Nabi SAW menanyakan ibadah haji lelaki tersebut. Andaikan tidak ada hukum yang berbeda bagi orang yang mengganti haji orang lain dengan hukum haji pada umumnya, niscaya tidak perlu menanyakannya. Kedua, setelah mengetahui lelaki itu belum haji Nabi SAW kemudian memerintahkannya untuk haji bagi dirinya sendiri kemudian baru menghajikan Syubrumah. Hal ini menunjukkan bahwa orang tidak boleh menghajikan orang lain sebelum menghajikan dirinya sendiri. Selain itu haji bagi dirinya sendiri hukumnya wajib baginya, sementara haji orang lain tidak wajib baginya, sehingga orang tidak boleh meninggalkan kewajiban dirinya sendiri sebab melakukan sesuatu yang tidak wajib baginya. (Alauddin al-Kasani, Badâ-i’us Shana-i' fî Tartîbis Syarâ-i', [Beirut, Dârul Kitâbil ‘Arabi: 1982 M], juz II, halaman 213).

Baca Juga: Dipopulerkan Setia Band, Ini Lirik Lagu dan Chord Gitar Terlalu Indah

Menurut Mazhab Hanafi

Orang yang belum haji menurut Imam Hanafi boleh dan dianggap cukup untuk menjadi badal atau mengganti haji orang lain yang berhalangan. Ulama mazhab Hanafi berpedoman pada keumuman hadits yang artinya sebagai berikut, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: ‘Al-Fadhl bin Abbas menjadi pengawal Rasulullah saw. Lalu datang perempuan dari Khats’am (salah satu kabilah dari Yaman). Sontak al-Fadlu memandang perempuan itu dan perempuan itu pun memandangnya. Seketika itu pula Nabi saw memalingkan wajah al-Fadhl sisi lain (agar tidak melihatnya). Lalu perempuan itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban haji dari Allah kepada hamba-hambanya telah menjadi kewajiban bagi ayahku saat ia tua renta dan tidak mampu berkendara. Apakah aku boleh berhaji sebagai ganti darinya?’ Rasulullah saw menjawab: ‘Ya.’ Peristiwa itu terjadi dalam haji Wada’. (Muttafaq ‘Alaih, dan ini redaksi al-Bukhari).

Halaman:

Editor: Y. Dody Luber Anton


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x