Pengamat hukum ini menegaskan, menarik apa yang dikatakan Kasat Reskrim Polres Sanggau AKP Sulastri bahwa penyelesaiannya dilakukan melalui restorative justice.
"Pertanyaannya berdamai dengan siapa? Pelapor tidak bisa mencabut laporannya, karena kasus ini adalah delik umum," tegasnya.
Herman Hofi melanjutkan, dalam peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2021, restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi, yang melibatkan semua pihak terkait.
Prinsip dasar restorative justice, adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
"SP3 kasus ini, sudah jelas bahwa PETI ini tidak masuk dalam peraturan Kapolri itu," terangnya.
Baca Juga: Jadwal Salat Lima Waktu untuk Kabupaten Melawi dan Sekitarnya pada Kamis 1 Juni 2023
Bang Herman Hofi sapaan akrab pengamat hukum ini menjelaskan, sudah banyak regulasi terkait restorative justice, selain Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021, ada juga Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan. Selain itu, dalam implementasi regulasi maka dibuat nota kesepakatan bersama Ketua MA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Jaksa Agung.
"Dengan demikian tidak ada unsur restorative justice dalam perkara PETI ini. Kasus PETI bukan hanya pihak perusahaan yang dirugikan, tetapi negara dan masyarakat juga dirugikan. Polisi hendaknya mengkaji kembali terbitnya SP3 tersebut," jelasnya.
Baca Juga: Jadwal Salat Lima Waktu untuk Kabupaten Sekadau dan Sekitarnya pada Kamis 1 Juni 2023
Ia menambahkan, peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020, dengan tegas dikatakan bahwa perkara PETI bukan salah satu perkara yang bisa diselesaikan melalui mekanisme restorative justice.