3 Makna dan Filosofi dari Perintah Zakat yang Jarang Diketahui Orang

- 4 Mei 2021, 08:12 WIB
Beras merupakan salah satu bahan poko untuk menunaikan zakat fitrah.
Beras merupakan salah satu bahan poko untuk menunaikan zakat fitrah. /Pixabay/



WARTA SAMBAS - Bukankah dalam kitab suci Al-Qur'an seringkali kita mendapati ayat yang menyandingkan perintah menunaikan salat dengan zakat. Seperti "aqiimu al-shalaata wa aatu al-zakaata (dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat)".

Melaksanakan salat melambangkan hubungan baik seorang hamba dengan Tuhan, sedangkan zakat adalah melambangkan harmonisnya hubungan sesama manusia. Bahkan zakat juga dipandang sebagai realitas kebajikan sosial sekaligus kesalehan individual.

Komitmen keislaman dan keimanan seseorang bisa saja dikatakan sia-sia tanpa diiringi dengan praktek berzakat. Bahkan Abu Bakar pernah memerangi para pembangkang yang enggan menunaikan zakat, dan Umar bin Khattab juga pernah memerintahkan untuk membakar rumah orang Islam yang menolak perintah zakat.

Baca Juga: Ini Perbedaan antara Zakat Fitrah dengan Zakat Maal

Para ulama fikih, menempakan zakat pada prioritas bahasan yang lumayan serius. Makanya, di dalam kitab-kitab klasik, zakat dibahas begitu panjang lebar, dari syarat-syaratnya, subyek yang berzakat, sampai pihak-pihak yang dizakati.

Sayangnya jarang sekali diantara kita yang mendalami perintah zakat dari sisi filosofisnya.  Akibatnya kadang penunaian zakat hanya sekadar menjadi rutinitas tahunan dan penggugur kewajiban semata.

Padahal para ulama klasik maupun kontemporer tak hanya mengupas aspek-aspek praktis, melainkan juga aspek filosofisnya. Nah, dilansir dari artikel Ilham Ibrahim, yang dimuat di laman Muhammadiyah.or.id, berikut ini pehamaman filsofis zakat yang dijelaskan dalam tiga makna zakat, untuk dipahami agar kita bisa merenung terhadap harta kekayaan yang dimiliki, sehingga keyakinan terhadap zakat sebagai satu kewajiban sosial begitu mengakar pada diri seorang muslim.

1. Makna Teologis

Baca Juga: Apa yang Muslim Harus Lakukan Bila Telat Bayar Zakat Fitrah? Simak Penjelasannya...

Penciptaan alam semesta berawal dari ketiadaan menjadi ada (QS. Al-Baqarah: 117). Allah menciptakan alam semesta ini dengan susunan yang teratur (QS. Al-An’am: 102). Karena Allah Sang Pencipta, maka Dialah yang memiliki seluruh alam ini (QS. Al-Nisa’: 131). Hanya saja sebagai Pemilik Alam, Allah menciptakan manusia yang difungsikan sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Dalam kapasitas sebagai khalifah, manusia diberi tugas memakmurkan alam semesta ini (Q.S. Hud: 61).

Dalam misi memakmurkan alam dan seisinya, Allah menyediakan fasilitas yang dibutuhkan manusia untuk menjaga eksistansinya dalam kehidupan, seperti oksigen, air, ataupun tumbuh-tumbuhan (QS. Qaf: 7-11). Bahkan manusia diperbolehkan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada (QS. an-Nahl: 14). Allah juga memberikan karunia hujan untuk kesuburan tanah (QS. As-Sajdah: 27), sehingga dapat menumbuhkan buah-buahan yang dapat dimanfaatkan (QS. Al-Nahl: 69).

Manusia tidak memiliki kekuatan untuk menciptakan air, menggerakkan awan, dan membuat pohon. Manusia hanya mampu mengolah, memperdayakan, dan memanfaatkan segala fasilitas kehidupan yang telah diciptakan Allah. Semua harta kekayaan yang ada di bumi merupakan milik Allah, sementara kepemilikan manusia hanya bersifat nisbi (QS. Thaha: 20). Jadi, kepemilkan manusia dalam batas-batas menikmati dan memperdayakan harta kekayaan yang ada, bukan sebagai pemilik mutlak.

Baca Juga: Perhatikan 5 Hal Terkait Zakat Fitrah Ini, Termasuk Bagaimana Niat yang Benar dan Besarannya

Dengan kepemilikan manusia yang hanya sebatas melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuannya (Q.S. Al-Hadid: 7), maka konsekuensi yuridisnya adalah tidak semua harta yang dimiliki adalah miliknya secara mutlak, melainkan di dalamnya terdapat hak orang lain (QS. Al-Dzariyat: 19). Seseorang yang mempunyai harta berlebih dalam tempo tertentu diperintahkan untuk mendermakan hartanya kepada yang berhak yaitu kaum dhuafa dan lain-lain (QS. At-Taubah: 60). Praktek ini kemudian dikenal dengan zakat—di samping infak dan sedekah.

Karenanya zakat (al-zakat) ditinjau dari sudut bahasa mengandung arti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji; semua digunakan dalam al-Qur’an dan Hadis. Makna tumbuh dan suci ini tidak hanya diasumsikan pada harta kekayan, lebih dari itu, juga untuk jiwa orang yang menzakatkannya. Dalam Fikih Zakat Kontemporer yang disusun Majelis Tarjih, secara syar’I zakat berarti nama suatu ibadah wajib yang dilaksanakan dengan memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik sendiri kepada orang yang berhak menerimanya menurut yang ditentukan oleh syariat Islam.

Baca Juga: Mahasiswa Perantau Berhak Dapat Zakat Fitrah, Asalkan....

2. Makna Kemanusiaan

Zakat merupakan salah satu bentuk ibadah sosial yang berusaha mengentaskan kemiskinan umat. Dengan zakat, Islam telah menunjukkan semangat sosial dan perlindungan antara mereka yang kaya untuk memperhatikan mereka yang miskin sehingga tidak adanya ketimpangan sosial. Hal ini juga mengisyaratkan agar umat Islam menjadi manusia kaya ‎dalam sebuah ekuilibrium yang proporsional. Tidak sampai tenggelam dalam ‎bianglala kehidupan yang penuh pesona duniawi, sebab ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis bagi si kaya kepada si miskin.

Hal tersebut secara tidak langsung merupakan kritik terhadap paham kapitalisme yang menciptakan ketimpangan yang sangat jauh antara si kaya dan si miskin. Orang kaya semakin bertambah kekayaannya. Sementara rakyat miskin semakin jauh dari sekadar memenuhi standar hidup layak. Kita mesti bersyukur dengan adanya kewajiban menunaikan zakat, sebab di dalamnya terdapat usaha penataan struktur sosial yang secara bertahap namun masif dilakukan oleh Islam.

Baca Juga: Ini Waktu yang Dianjurkan untuk Membayar Zakat Fitrah

3. Makna Perubahan Sosial

Zakat dalam Islam tidak memandang kemiskinan sebagai sebuah sunnatullah yang berlaku pada manusia, namun juga menawarkan solusi pengentasannya. Meskipun kemiskinan sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihilangkan secara mutlak, tetapi dengan adanya zakat dapat diatasi dan diperbaiki kualitasnya sehingga tidak menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan.

Dengan demikian, zakat dipahami sebagai bentuk keadilan distributif. Pemaknaaan dari Majelis Tarjih ini ingin meluruskan anggapan bahwa siapapun yang tidak memiliki tanggungjawab, tidak mendapatkan apa-apa. Dengan kata lain, tidak ada keadilan bagi yang tidak berkontribusi. Misalnya, kaum difabel, orang-orang lansia, atau golongan miskin yang dilemahkan oleh sistem. Teori keadilan distributif ini kemudian direvisi oleh al-Qur’an, sehingga istilah keadilan dalam Islam yang tepat adalah keadilan distributif-terkoreksi.

Baca Juga: Hukum Memberi Pengemis dengan Niat Zakat dalam Islam, Simak Penjelasannya…

Lalu seperti apa koreksinya, hal tersebut dijelaskan dalam QS. Adz-Dzariyat: 19, QS. Al-Baqarah: 267, QS. At-Taubah: 34-35, dan dari beberapa hadis Nabi menerangkan bahwa dalam harta kekayaan yang kita miliki—atau tepatnya yang dititipkan Allah kepada kita— ada hak kaum mustadh’afin sebesar 2,5%. Mustadl’afin adalah mereka yang bukan hanya fakir miskin alamiah, tetapi juga mereka yang menjadi korban struktural.***

Editor: Yuniardi

Sumber: Muhammadiyah.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x