Amandemen UUD 1945 hanya untuk Menghadirkan PPHN, Bukan Perpanjangan Periodisasi Jabatan Presiden

- 14 September 2021, 18:18 WIB
Ketua MPR RI Bamsoet mengatakan rencana Amandemen UUD 1945 hanya untuk menghadirkan PPHN, bukan yang lain.
Ketua MPR RI Bamsoet mengatakan rencana Amandemen UUD 1945 hanya untuk menghadirkan PPHN, bukan yang lain. /

WARTA SAMBAS - Wacana Amandemen UUD 1945 demi kepentingan perpanjangan periodisasi jabatan presiden, terus saja bergulir dari waktu ke waktu.

Diperkuat lagi dengan adanya rencana Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yang memang hendak melakukan Amandemen UUD 1945.

Namun rencana MPR RI untuk melakukan Amandemen UUD 1945 itu, bukan terkait perpanjangan jabatan presiden menjadi tiga periode.

Hal itu ditegaskan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo saat webinar yang digelar Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, kemarin.

Baca Juga: Soal Jabatan Presiden Tiga Periode, Ini Kata Megawati

Bamsoet-sapaan Bambang Soesatyo-mengatakan, di internal MPR RI sama sekali belum pernah membahas wacana perpanjangan periodisasi jabatan presiden.

"Tidak pernah sekalipun membahas wacana perpanjangan periodisasi presiden menjadi tiga periode," kata Bamsoet, seperti dikutip WARTA SAMBAS dari ANTARA, Selasa 14 September 2021. 

Menurut Bamsoet, dari segi politik, pembahasan wacana perubahan periodisasi jabatan presiden itu sangat sulit dilakukan.

Lantaran saat ini Partai Politik (Parpol) sudah bersiap menghadapi Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 dengan Calon Presiden atau Capres-nya masing-masing.

Adapun terkait rencana MPR RI yang hendak melakukan Amandemen UUD 1945, jelas Bamsoet, hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

Rencana Amandemen UUD 1945 itu bukan untuk membahas hal lain seperti periodisasi jabatan presiden.

Bamsoet mengatakan, masa jabatan presiden sudah diatur dengan tegas dalam Pasal 7 UUD 1945, yakni 2 periode.

Artinya, presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat 2 kali pada jabatan yang sama, baik berturut-turut maupun tidak.

"Baik masa jabatan tersebut dipegang secara penuh dalam periode 5 tahun maupun kurang dari 5 tahun," jelas Bamsoet.

Ia pun mengingatkan bahwa untuk mengubah konstitusi, membutuhkan konsolidasi politik yang besar, karena persyaratannya sangat berat.

Persyaratan tersebut tertuang Pasal 37 ayat 1-3 UUD 1945. Di antaranya, perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan apabila diajukan 1/3 dari jumlah Anggota MPR RI (237 orang).

Kemudian, perubahan pasal-pasal konstitusi bisa dilakukan apabila Sidang dihadiri 2/3 Anggota MPR RI (474 orang).

Keputusan perubahan Pasal-Pasal UUD 1945 itu harus disetujui 50+1 persen dari seluruh anggota MPR RI (357 orang).

"Artinya, satu partai saja yang tidak setuju dengan rencana amandemen, maka amandemen tidak bisa dilakukan," jelas Bamsoet.

Jika merujuk referensi global, kata Bamsoet, memang ada beberapa negara yang membolehkan masa jabatan presiden lebih dari 2 kali, seperti Amerika Serikat.

Sejarah Amerika Serikat mencatat, Presiden Franklin Roosevelt menjabat sebagai Presiden selama 4 kali (1933-1945) ketika krisis akibat Perang Dunia II.

Namun setelah Amandemen Konstitusi tahun 1951, masa jabatan Presiden AS dibatasi menjadi 2 periode.

Sementara negara yang hingga kini menerapkan masa jabatan presiden lebih dari 2 periode, di antaranya Brasil, Argentina, Iran, Kongo, Kiribati, Tanjung Verde, dan Tiongkok.

Sementara Indonesia, jelas Bamsoet, pembatasan masa jabatan presiden 2 periode merupakan hasil reformasi, supaya selalu ada penyegaran dalam setiap periodisasi pemerintahan. 

Selain itu, untuk menjamin kesinambungan, agar tidak setiap berganti pemerintahan berganti pula haluannya, maka kehadiran PPHN merupakan keniscayaan.***

Editor: Mordiadi

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah