Belanja Rokok Masuk Posisi Kedua Setelah Beras, Bansos pun Terancam...

25 Januari 2021, 22:27 WIB
Ilustrasi rokok yang mengandung nikotin. /Pixabay/geralt/Pixabay

WARTA SAMBAS - Survei Badan Pusat Statistik (BPS) selalu menempatkan belanja rokok pada posisi kedua setelah beras, dan menjadi salah satu pengeluaran terbesar pada rumah tangga termiskin. 

Tingginya konsumsi rokok tersebut, menurut Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI), Renny Nurhasanah, mengancam program Bantuan Sosial (Bansos) dari Pemerintah.

"Keluarga penerima Bansos yang perokok memiliki konsumsi kalori, protein, lemak, dan karbohidrat yang jauh lebih rendah, dibandingkan keluarga penerima Bansos yang tidak merokok," kata Renny, seperti diberitakan DeskJabar.com dalam artikel berjudul "Peneliti UI: Bantuan Sosial Banyak yang Dibelikan Rokok", Senin 25 Januari 2021.

 

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Senior, Faisal Basri mengatakan, kenaikan cukai rokok yang signifikan akan membuat harga menjadi lebih mahal dan dapat menurunkan konsumsi rokok.

Baca Juga: Khasiat Teh: Meningkatkan Daya Tahan Otot dan Menangkal Efek Rokok

"Cukai sebagai instrumen utama yang langsung mempengaruhi industri rokok, terutama terhadap harga. Memang tidak terlalu elastis, tetapi kalau naik signifikan akan dapat menurunkan konsumsi rokok," kata Faisal

Pemerintah, lanjut dia, memang telah menaikkan cukai rokok. Namun, industri rokok mampu menahan agar kenaikan tersebut tidak sepenuhnya dibebankan kepada konsumen.

Akibatnya, harga rokok di tingkat ritel tidak naik proporsional. Sehingga kenaikan cukai yang telah dilakukan tidak berdampak pada konsumsi rokok secara signifikan.

"Di desa, banyak iklan rokok berupa spanduk-spanduk yang mengiklankan harga tidak sampai Rp10.000 per bungkus. Mereka melakukan penetrasi sampai ke desa-desa. Tidak tahu itu iklannya bayar atau tidak," tutur Faisal.

Baca Juga: Pesan Presiden Jokowi: Bansos 2021 Bukan untuk Beli Rokok

Menurut Faisal, konsumsi rokok sulit diturunkan karena industri rokok masih menjadi salah satu andalan untuk penerimaan keuangan negara melalui pajak dan cukai.

Pada 2020, realisasi penerimaan cukai tembakau mencapai 103,21 persen yang berarti melampaui target penerimaan cukai yang ditetapkan pemerintah. "Padahal industri pengolahan tembakau sepanjang Januari 2020 hingga September 2020 mengalami kontraksi 4,06 persen," ungkap Faisal.

Pengamat Ekonomi UI Vid Adrison mengatakan, tujuan pengenaan cukai pada suatu barang dan jasa berbeda dengan pengenaan pajak.

"Tujuan utama cukai adalah pengendalian konsumsi, dengan efek penerimaan negara. Bila penerimaan dari cukai tinggi, apakah bisa diartikan sebagai hal yang baik? Penerimaan tinggi berarti konsumsinya tinggi. Padahal tujuannya adalah mengendalikan konsumsi," kata Adrison. ***(Kodar Solihat/DesJabar.com)

Editor: Mordiadi

Sumber: Desk Jabar

Tags

Terkini

Terpopuler