Utang Indonesia Meroket, Tapi Belum sampai Level Gagal Bayar

- 26 Juni 2021, 21:30 WIB
Utang Indonesia Meroket, Tapi Belum sampai Level Gagal Bayar
Utang Indonesia Meroket, Tapi Belum sampai Level Gagal Bayar /Pixabay

WARTA SAMBAS – Utang Indonesia hingga Mei 2021 mencapai Rp6.418,15 Triliun, meroket hingga 22 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu Rp5.258,7 triliun.

Sedangkan rasio utang Indonesia hingga Mei 2021 mencapai 40,49 persen, naik signifikan dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu 32,09 persen.

"Saya rasa memang iya utang kita melonjak drastis. Kita tidak pernah memiliki utang secara rasio PDB setinggi ini,” kata Teuku Riefky Harsya, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), seperti dikutip WARTA SAMBAS dari ANTARA, Sabtu 26 Juni 2021.

Tetapi, menurut Riefky, bila dibandingkan banyak negara, Indonesia jauh lebih aman. “Jadi, saya tidak melihat ini sebagai ancaman bahwa kita akan mendekati gagal bayar," katanya.

Baca Juga: Karyawan Ini Curi 14 iPhone 11 Pro Max untuk Bayar Utang Trading Saham

Riefky mengatakan, Utang Indonesia meningkat selama masa pandemi Covid-19, karena mendesaknya berbagai kebutuhan untuk menangani krisis kesehatan.

Selain itu juga karena berbagai program perlindungan dan Bantuan Sosial (Bansos) untuk masyarakat dan badan usaha yang rentan terdampak pandemi Covid-19.

"Memang betul di satu sisi, Utang Indonesia ini naik melampaui kondisi-kondisi sebelum pandemi. Tetapi kalau kita bandingkan dengan negara lain, utang kita melonjaknya tidak yang paling parah,” ujar Riefky.

Bahkan, lanjut dia, banyak negara yang utangnya sampai di atas 100 persen dari GDP-nya atau mendekati 100 persen. “Kita masih 40 persen. Ini pun juga sebelum pandemi kita jauh lebih rendah dari negara lain," jelas Riefky.

Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, rasio defisit dan utang terhadap PDB Indonesia masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara. Namun trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) menyebutkan, indikator kerentanan utang 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF atau International Debt Relief (IDR) antara lain rasio debt service terhadap penerimaan 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF 25 sampai 35 persen.

Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan 19,06 persen juga melampaui rekomendasi IDR 4,6 sampai 6,8 persen dan rekomendasi IMF 7 sampai 10 persen.

Rasio utang terhadap penerimaan 369 persen, melampaui rekomendasi IDR 92 sampai 167 persen dan rekomendasi IMF 90 sampai 150 persen.

Selain itu, indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27 persen melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411-Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.

"Apa yang disampaikan BPK itu betul. Tetapi saya rasa belum komplit atau belum utuh. Satu, iya utang kita meningkat, tapi yang tidak disampaikan oleh BPK, utang Indonesia sebagian besar itu utang jangka panjang. Jadi, kita tidak bicara kita gagal bayar setahun dua tahun, ini adalah utang yang memang jatuh temponya 30 sampai 50 tahun," jelas Riefky.

Utang Indonesia tersebut digunakan untuk membantu masyarakat yang kehilangan pekerjaan atau usahanya terganggu karena pandemi Covid-19, agar tetap bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.

Utang juga digunakan untuk berbagai program strategis pemerintah seperti pembangunan infrastruktur dan juga membuat lapangan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, kemampuan membayar utang Indonesia juga akan meningkat.

"Jadi, saya rasa ini isunya juga perlu didudukkan sesuai dengan konteksnya. Bahwa ini untuk kebutuhan yang urgent iya, bahwa ini tidak ada cara lain, iya, karena saat ini penerimaan pemerintah sangat tertekan selama pandemi. Namun, bahwa ini adalah utang yang bukan jatuh tempo dalam waktu dekat, itu juga perlu disampaikan," kata Riefky.

Kendati demikian, Riefky mengingatkan, Utang Indonesia ii harus dikelola secara sangat hati-hati dan disiplin, serta publik juga harus terus memantau pengelolaannya.

Selama utang itu digunakan untuk kebutuhan yang produktif seperti menjaga daya beli dan kesejahteraan masyarakat, menurut Riefky, tidak akan menjadi masalah ke depannya. Risiko gagal bayar pun juga kemungkinan kecil akan terjadi.

"Saya juga perlu tekankan ini sangat jauh, saya rasa ini bahkan tidak akan mungkin terjadi gagal bayar. Artinya, kalau kita melihat kondisi pandemi ini, ada 50 lebih negara yang utangnya jauh lebih parah dari Indonesia. Kalau kita sampai melihat Indonesia gagal bayar, berarti kita sudah sampai di tahap melihat 50 negara lain ini sudah mengalami gagal bayar. Saya rasa ini skenario yang sangat kecil kemungkinannya akan terjadi," tegas Riefky.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan setidaknya ada 5 kunci untuk memitigasi dan mengendalikan Utang Indonesia , yang sedang naik signifikan dan menimbulkan kekhawatiran, yakni:

1. Negosiasi Utang dengan Segera

Menurut Bhima, negosiasi bisa diberikan kepada negara untuk melakukan penangguhan pembayaran utang terlebih lagi dalam konteks bencana pandemi Covid-19.

Jika Indonesia memiliki beban utang yang berat dengan bunga Rp373 Triliun per tahun, maka dapat meminta keringanan kepada kreditur agar pembayaran bunga utangnya ditunda hingga 2022 atau 2023.

 

2. Naikkan Rasio Pajak

Rasio pajak harus dinaikan, salah satunya dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak untuk menunaikan kewajibannya.

 

3. Hentikan Insentif Pajak

Bhima menilai, sebagiknya insentif pajak dihentikan, khususnya pada sektor-sektor yang telah diberi stimulus, namun belum efektif.

 

4.Persempit Ruang Perilaku Koruptif

Menurut Bhima, ruang perilaku koruptif perlu dipersempit dalam penegakan aturan perpajakan. Karena ini dapat merugikan penerimaan pajak.

"Itu juga merugikan penerimaan pajak yang ujungnya beban antara penambahan utang dengan kewajiban pembayaran utangnya menjadi semakin berat," jelas Bhima.

 

5. Hemat Belanja

Pemerintah, kata Bhima, dapat melakukan penghematan secara lebih ketat terhadap belanja-belanja yang bersifat birokratis seperti belanja pegawai dan belanja barang.

"Belanja yang tidak urgen seperti perjalanan dinas bisa dipangkas karena ruang fiskal itu juga harus dijaga agar masih tetap bisa melakukan belanja-belanja lain yang lebih urgen," jelas Bhima.

Permasalahan dalam pengelolaan utang selama ini, kata Bhima, bukan mengenai penambahan jumlahnya, melainkan terkait produktivitas dari utang itu untuk menghasilkan Valuta Asing (Valas) yang lebih besar.

"Apalagi, utangnya diterbitkan dalam bentuk utang luar negeri, maka utang luar negeri harus dibayar dengan dolar dengan Valas," ucap Bhima.

Seharusnya pemerintah, tambah dia, lebih bisa mendorong sektor-sektor penghasil Valas seperti ekspor dan devisa dari tenaga kerja. "Itu yang seharusnya didorong sekarang. Jadi, selama ini, itu yang menjadi masalah," tegasnya.***

Editor: Mordiadi

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah