Petisi Tolak Penundaan Pemilu 2024: PKB, Golkar dan PAN Jadi Sorotan

- 4 Maret 2022, 00:13 WIB
Sejumlah elemen masyarakat Indonesia mulai menggalang petisi tolak penundaan Pemilu 2024.
Sejumlah elemen masyarakat Indonesia mulai menggalang petisi tolak penundaan Pemilu 2024. /Jurnal Ngawi /Gambar Kolase Jurnal Ngawi

WARTA SAMBAS - Sejumlah elemen masyarakat Indonesia mulai menggalang petisi tolak penundaan Pemilu 2024.

Setidaknya 7 elemen masyarakat yang mengajak masyarakat untuk menandatangi petisi tolak penundaan Pemilu 2024 tersebut.

Setali tiga uang, petisi tolak penundaan Pemilu 2024 ini sejalan dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Ternyata, petisi tolak penundaan Pemilu 2024 muncul karena 3 partai di DPR RI sudah memperlihat sinyal dukungan ke arah sana.

Dilansir JurnalNgawi.com dalam artikel berjudul "Gerakan Tolak Pemilu 2024 Ditunda Mulai Digalang Masyarakat Dengan Membuat Petisi", elemen masyarakat yang menggaungkan petisi tersebut terdiri atas:

1. Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP)

2. Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI)

3. Komite Pemantau Legislatif (Kopel)

4. Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif

5. Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT)

6. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

7. Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Baca Juga: Partai Ummat Merawat 'Pohon Tua' dan Menanam 'Pohon Baru', Strategi untuk Jadi Peserta Pemilu 2024

Dalam siaran persnya, mereka menyatakan bahwa para elite politik makin kuat menyampaikan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden. 

Setidaknya sudah 3 partai di DPR RI yang punya sinyal dukungan ini, yakni:

1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

2. Partai Golongan Karya (Golkar), dan

3. Partai Amanat Nasioal (PAN).

Baca Juga: Pemilu 2024 Tanggal 21 Februari, KPU: Kita Sudah Hitung

Keinginan para elite itu bertentangan dengan konstitusi Indonesia.

Pasal 7 dan 22 ayat (1) UUD 1945 memastikan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun.

Sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya satu kali masa jabatan melalui Pemilu secara Luber dan Jurdil setiap 5 tahun sekali.

Kesimpulannya, menunda Pemilu 2024 berarti melanggar hukum tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga: Wacana KPU: Pemilu 2024 Tak Pakai Coblos

Para elit politisi dan DPR RI terus memperluas dukungan agar bisa mengubah konstitusionalitas Pemilu berkala dan pembatasan masa jabatan presiden.

Pasal 37 ayat (1) dan (3) UUD 1945 berbunyi, usul perubahan Pasal-pasal UUD diajukan sekurang-kurangnya sepertiga.

Sedangkan untuk mengubahnya sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR RI.

PKB, Golkar, dan PAN hanya membutuhkan satu atau dua partai lagi untuk mengusulkan amendemen Konstitusi bersama DPD.

Lalu koalisi DPR yang amat besar pendukung pemerintahan Presiden Jokowi, lebih dari cukup untuk melancarkan amendemen.

Baca Juga: Pemilu 2024 Rawan Pengadaan dan Distribusi Logistik

Namun amandemen itu akal-akalan belaka, karena sangat bertentangan dengan konstitusionalisme pembatasan kekuasaan melalui limitasi masa jabatan.

Pembatasan itu lahir dari sejarah perjalanan bangsa dan merupakan amanat reformasi.

Jika para elite politik berhasil mewujudkan itu, maka Indonesia melanggar prinsip-prinsip universal negara demokrasi.

Pasal 25 (b) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang jabatan presiden pun membuat Indonesia melanggar prinsip pemerintahan presidensial.

Baca Juga: PKS Rangkul Emak-emak di Pemilu 2024

Sebagai bagian dari sistem politik hasil Reformasi, sistem presidensial punya dua perbedaan mendasar dengan sistem parlementer.

1. Pemerintahan yang terpisah dari parlemen.

2. Presiden sebagai kepala pemerintahan punya masa jabatan yang tetap dan dibatasi oleh pemilihan langsung oleh rakyat secara berkala

Alasan ekonomi pada konteks Covid-19 pun bertentangan dengan praktik pemerintahan sebelumnya.

Pada Pilkada 2020, korban infeksi dan nyawa dari wabah corona ada dalam keadaan puncak.

Para akademisi lintas bidang, tenaga medis, NGO, Ormas keagamaan lintas iman, dan mahasiswa meminta penundaan Pilkada 2020.

Keadaan ekonomi warga dan APBN, APBD dalam keadaan buruk karena terdampak Covid-19. Tetapi pemerintah dan DPR RI tetap melanjutkan Pilkada 2020.

Semua itu menjelaskan bahwa, penundaan Pemilu 2024 menyerta perpanjangan masa jabatan presiden, melanggar aspek hukum, politik dan ekonomi.

Sama halnya dengan kelanjutan Pilkada 2020, menunda Pemilu 2024 merupakan wujud penyelenggaraan negara yang berdasar pada kepentingan politik elite untuk mempertahankan bahkan memperluas kekuasaannya.

Penting bagi kita sebagai warga negara untuk menolak penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Atas nama negara hukum, politik demokratis dan keberdayaan ekonomi: tolak penundaan Pemilu 2024.

Untuk itu kami mengajak publik untuk bersama-sama menandatangani petisi ini sebagai bentuk penolakan atas wacana penundaan Pemilu 2024.

Link petisi dapat diakses pada: https://www.change.org/TolakPenundaanPemilu2024

Demikian bunyi siaran pers elemen masyarakat yang mengajak masyarakat untuk menandatangani petisi tolak penundaan Pemilu 2024.

Sementara itu, LSI melakukan survei wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden karena alasan ekonomi atau pandemi Covid-19.

Dilansir Pikiran-Rakyat.com dalam artikel berjudul "Hasil Survei LSI Tunjukkan Mayoritas Masyarakat Tolak Penundaan Pemilu 2024", survei LSI itu melibatkan 1.197 respoden. 

Hasilnya, mayoritas warga yang mengikuti survei LSI menolak penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. 

Hasil survei LSI tersebut diumumkan pada Kamis 3 Maret 2022. Para responden setujuh Pemilu 2024 tetapi dilaksanakan. 

Hal itu sesuai dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945).

Survei tersebut dilakukan dalam dua kelompok, di antaranya kelompok wacana penundaan Pemilu 2024 dan kelompok perpanjangan masa jabatan presiden.

Direktur LSI Djayadi Hanan saat acara peluncuran hasil survei mengatakan, dari total 1.197 orang responden, mayoritas dari mereka yaitu sekitar 68-71 persen, menolak perpanjangan masa jabatan presiden.

Sehingga Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) harus mengakhiri masa jabatannya pada 2024 sesuai konstitusi.

Terkait Pemilu 2024, dari 1.197 responden, 64 persen ingin even 5 tahun ini tetap digelar meskpun pandemi Covid-19.

Djayadi menerangkan responden yang pro demokrasi dan pro pembangunan ekonomi punya pandangan serupa soal wacana menunda Pemilu 2024.

Mayoritas responden dari dua kelompok itu menolak wacana penundaan Pemilu 2024.

“Berdasarkan temuan survei ini, maka penundaan Pemilu ditolak oleh mayoritas warga, khususnya yang tahu dengan wacana tersebut," kata Djayadi.

Meskipun saat ini banyak warga yang belum tahu, namun mereka juga besar penolakannya jika diberi pilihan tersebut.

"Artinya, semakin gencar wacana penundaan disuarakan oleh elite politik, maka semakin banyak warga yang tahu dan akan semakin kuat pula penolakan," kata Djayadi.

Berdasarkan hasil survei ini, Djayadi mendorong para elite politik agar mengakhiri wacana dan polemik penundaan Pemilu 2024.

Sebagai informasi, LSI menggelar survei sejak 25 Februari 2022 hingga 1 Maret 2022. Tercatat 1.197 responden yang berhasil diwawancara.

 

Responden tersebut merupakan orang yang telah menjadi sumber jajak pendapat LSI selama 3 tahun terakhir dengan jumlah 296.982 orang.

Tingkat toleransi kesalahan (margin of error) hasil survei 2,89 persen.

Adapun para responden yang diwawancara pada 25 Februari hingga 1 Maret 2022 itu mewakili 71 persen populasi warga yang mempunyai hak pilih.***

Editor: Mordiadi

Sumber: Pikiran Rakyat Jurnal Ngawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x