Kerusuhan Anti China, PM Solomon sebut Kental Campur Tangan Pihak Asing

27 November 2021, 00:39 WIB
Hari ini kerusuhan anti China di Kepulauan Solomon yang berlangsung sejak dua hari terakhir mulai mereda. /Georgina Kekea via Reuters

WARTA SAMBAS - Hari ini kerusuhan anti China di Kepulauan Solomon yang berlangsung sejak dua hari terakhir mulai mereda.

Namun Pemerintah Solomon tidak menunjukkan tanda-tanda akan menangani keluhan mendasar yang memicu kerusuhan anti China tersebut.

Bahkan Perdana Menteri (PM) Solomon Manasseh Sogavare berusaha mengalihkan isu kerusuhan anti China tersebut ke masalah domestik.

Sogavare menyalahkan campur tangan asing yang menggerakkan para pengunjuk rasa dalam kerusuhan anti China tersebut.

Baca Juga: WNI Boleh Masuk Arab Saudi Tanpa Karantina di Negara Ketiga, Catat Tanggal Berlaku Efektif Aturan Baru Ini...

Menurutnya, penggerak para pengunjuk rasa tersebut memiliki referensi terselubung ke Taiwan dan Amerika Serikat (AS).

"Pengaruh yang sangat besar. Saya tidak ingin menyebut nama," kata Sogavare, seperti dikutip WARTA SAMBAS dari ABC News, Sabtu 27 November 2021.

Seperti diketahui, para perusuh, penjarah dan pengunjuk rasa di Pecinan Honiara dan kawasan pusat kota menuntut agar Sogavare mundur dari PM yang dijabatnya sejak 2000.

Sogavare mendapat kritikan keras setelah mengeluarkan keputusan pada 2019 untuk memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan demi China.

Keputusan tersebut sebagai bentuk kekecewaannya karena AS menjanjikan bantuan langsung ke Malaita, tidak melalui Pemerintah Pusat.

Baca Juga: Presiden Joko Widodo Bertemu Jeff Bezos dan Bill Gates, Retno: Sangat-sangat Padat

Menurut Direktur Program Kepulauan Pasifik Lembaga Think Tank Lowy yang berbasis di Sydney, Jonathan Pryke, ini isu terbaru persaingan antara Malaita dengan Guadalcanal Ibu Kota Honiara.

"Sebagian besar pemicu ketegangan telah terjadi di negara ini selama beberapa dekade dan generasi," ungkap Pryke.

Banyak di antaranya lahir dari kemiskinan, terbatasnya peluang pembangunan ekonomi dan persaingan antaretnis dan antarpulau, antara dua pulau terpadat di Solomon.

“Jadi semua orang menunjuk jari, tetapi beberapa jari juga perlu menunjuk pada para pemimpin politik Kepulauan Solomon,” ujar Pryke.

Baca Juga: Kim Jong-un Minta Rakyatnya Hemat Makanan sampai 2025, Proyeksi FAO: Korea Utara Minus 2 Bulan Konsumsi

Kepulauan Solomon yang terletak sekitar 1.500 kilometer (1.000 mil) timur laut Australia, memiliki populasi sekitar 700.000 jiwa.

Secara internasional mereka mungkin masih terkenal karena pertempuran berdarah selama Perang Dunia II antara Amerika Serikat dengan Jepang.

Sebelumnya, kerusuhan dan penjarahan meletus pada Rabu 24 November 2021 yang bermula dari aksi damai di Honiara, terutama oleh orang-orang dari Malaita.

Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah para demonstran, yang membakar Parlemen Nasional, kantor polisi dan banyak bangunan lainnya.

Baca Juga: Serangan Panah di Norwegia oleh Warga Denmark, 5 Orang Tewas dan 2 Luka-luka

Para pengunjuk rasa menentang penguncian yang diumumkan Sogavare pada hari itu sehingga memutuskan turun ke jalan lagi pada keesokan harinya.

Menurut para kritikus, kerusuhan anti China tersebut didasari keluhan kurannya layanan dan akuntabilitas pemerintah, korupsi dan bisnis China yang mengabaikan penduduk lokal.

Sejak peralihan kesetiaan pada 2019 dari Taiwan ke China, ada ekspektasi investasi infrastruktur besar-besaran dari Beijing.

Investasi tersebut dikabarkan sekitar 500 Juta Dolar AS, tetapi tidak ada satu pun yang terwujud karena pandemi Covid-19.

Malaita mengancam akan mengadakan referendum kemerdekaan atas masalah ini, tetapi itu dibatalkan oleh pemerintah Sogavare.

Baca Juga: Vaksin Sinovac asal China Bisa untuk Anak-anak Usia 3 TahunBaca Juga: Vaksin Sinovac asal China Bisa untuk Anak-anak Usia 3 Tahun

Pryke menilai, kerusuhan anti China ini benar-benar bermuara pada frustasi atas kurangnya kesempatan bagi sebagian besar penduduk muda.

Selain itu, kekayaan negara sebagian besar terkonsentrasi di ibu kota, bukan tersebar di pulau lainnya.

“Saya jamin sebagian besar orang yang terlibat dalam kerusuhan dan penjarahan tidak bisa menunjukkan China atau Taiwan di peta,” kata Pryke.

Mereka berunjuk rasa karena peluannya yang sangat terbatas di bidang perekonomian di negara yang sangat miskin dengan kaum muda yang banyak pengangguran.

Baca Juga: Indonesia-China Makin Mesra, Erick Thohir: Memiliki Semangat Senasib dan Sepenanggungan

"Ini hanya menunjukkan seberapa cepat hal-hal ini dapat lepas kendali di negara yang bergejolak,” kata Pryke.

Sementara itu, profesor di Universitas Nasional Sun Yat-sen Taiwan, Andrew Yang mengatakan, ini upaya China untuk memenangkan pengakuan diplomatik dari Solomon.

Menurut, ini merupakan bagian dari kompetisi untuk dominasi regional. Bagian dari persaingan kekuatan antara AS dengan China.

"Karena China juga memperluas pengaruhnya ke kawasan Pasifik dan juga memanfaatkan kesempatan ini untuk mengkompromikan apa yang disebut strategi keamanan Indo-Pasifik AS,” kata Yang.

Jadi, tegas dia, negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik Selatan adalah bagian yang sangat penting dari payung keamanan Indo-Pasifik AS.***

 

Editor: Mordiadi

Tags

Terkini

Terpopuler